Austro-paedophilian Strikes Back!
Liputan6.com, Lombok: Kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak (pedofilia) kembali terjadi di Tanah Air. Selain Bali, para pelaku pedofilia kini mencari mangsa di Lombok, Nusatenggara Barat. Sejuta rayuan dipakai untuk memperdayai korban. "Pelaku pedofil ini memiliki jaringan yang sangat kuat baik di Bali maupun di Lombok," ujar Abdurahman, aktivis LSM Santai kepada Tim Sigi SCTV, baru-baru ini.
Kasus pedofilia yang terjadi di Lombok melibatkan seorang warga Australia Donald John Storm. Dia ditangkap karena telah menyodomi empat bocah asal Desa Montong, Senggigi, NTB. Kasus ini cukup menyita perhatian. Warga setempat bahkan sempat berunjuk rasa di depan Kantor Kepolisian Resor Mataram, NTB menuntut agar tersangka dihukum seberat-beratnya.
Kasus ini terbongkar saat polisi menangkap keempat bocah korban sodomi. Mereka dilaporkan Storm mencuri sejumlah barang miliknya di sebuah hotel di kawasan Senggigi. Belakangan, keempat bocah itu mengaku disodomi Don Storm. Salah satu korban bahkan mengaku diiming-imingi sepeda motor, telepon seluler (ponsel), dan sejumlah uang [baca: Storm Memenuhi Panggilan Polisi].
Polisi lalu meringkus Don Storm. Aparat menyita berbagai barang bukti mulai dari film dan majalah porno, alat kelamin palsu, hingga pelumas kelamin sebagai barang bukti. Polisi berjanji mengusut tuntas kasus dugaan sodomi oleh pria berusia 58 tahun itu. Petugas juga ingin melacak kemungkinan jaringan pelaku sodomi asing di Lombok dan sekitarnya.
Dalam pemeriksaan, Don Storm membantah telah menyodomi keempat bocah itu. Umaiyah, kuasa hukum tersangka mengatakan kliennya tidak mengenali keempat anak-anak tersebut. "Dia tidak mengaku sama sekali," ujar Umaiyah. Kendati memungkiri perbuatannya, polisi tetap menahan Don Storm. Hingga kini, kasus ini masih ditangani polisi.
Kasus Don Storm ini menambah panjang daftar kasus pedofilia di Tanah Air. Pada Mei 2004, mantan Diplomat Australia William Stuart Brown alias Tony didakwa mencabuli dua anak laki-laki di Bali. Pria asal Negeri Kanguru ini divonis Pengadilan Negeri Karang Asem, Bali, 13 tahun penjara. Tony didakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehari setelah vonis, Brown ditemukan tewas gantung diri [baca: Mantan Diplomat Australia Divonis 13 Tahun Penjara].
Maret 2005, seorang turis asal Prancis Michelle Rene Heller juga dicokok polisi. Tersangka termasuk pedofilia sejati. Heller aktif mencari korban di Singaraja dan Karang Asem, Bali. Salah satu korbannya adalah Helmy. Pemuda 19 tahun itu kenal tersangka sejak masih kanak-kanak. Ia mengaku sudah berulang kali disodomi Heller.
Dalam catatan lembaga swadaya masyarakat Committee Against Sexual Abuse (CASA), Heller umumnya mengincar anak-anak yang hidup miskin. Menurut pimpinan CASA L.K. Suryani, pelaku selama dua sampai tiga bulan mencoba mengambil simpati masyarakat setempat. "Masyarakat sudah menerima orang yang baik, tulus pada anak dan mencintai anak barulah mereka mulai mendata siapa kira-kira yang akan dipilih," jelas dia.
Yang terbaru saat ini adalah tiga pedofilia yang diduga masuk dan mencari mangsa di Pulau Dewata. Kepolisian Daerah Bali menyebut puluhan nama pelancong asing masuk dalam deretan target operasi (TO) sebagai pelaku pedofilia. Mereka berasal dari berbagai negara, paling banyak dari Australia.
LSM Santai mencatat, selama kurun waktu tiga bulan yakni antara Mei hingga Juli 2005, ditemukan 173 korban sodomi kaum pedofilia. Para korban itu tersebar di wilayah Praya, Senggigi, Kute, Tiga Gili, dan Senaru [baca: Pelaku Pedofilia Gentayangan di Lombok].
Penelusuran Tim Sigi di Lombok mendapati berbagai cara dan modus kalangan pedofilia beraksi di sana. Beberapa di antaranya dengan memberi beasiswa, menjadi orang tua asuh, dan memberi berbagai barang dan fasilitas. Betapa bebas dan mudahnya para pelancong merekrut bocah-bocah untuk dijadikan korban nafsu mereka.
Tapi di sisi lain, ada pula sejumlah bocah yang memang membutuhkan uang dari para pelaku pedofilia. Anak pria berusia 15 tahun di Senggigi, misalnya. Sekali kencan, ia bersedia menerima uang sebesar Rp 200 ribu.
Hasil penelitian LSM Santai di permukiman miskin Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat. Di sana ada sedikitnya lima anak korban penyimpangan seksual seorang warga Belanda. Si pelaku berdalih mendirikan sebuah LSM dan membangun sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, instalasi listrik, dan air bersih. Mereka begitu leluasa bergerak. Namun belakangan informasi ini dibantah kepala desa setempat.
Kasus pedofilia yang marak di Pulau Seribu Masjid itu memberi dampak buruk dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga. Tengok saja nasib tragis yang dialami Sabirin. Bocah ini meninggal sebulan silam karena terinfeksi virus Acquired Immunodeficiency Syndrome. Hampir tiga tahun Sabirin menjadi anak angkat turis asal Eropa bernama Peter yang kini menghilang.
Kisah kelam Sabirin juga dialami anak Rawini yang menjadi korban sodomi oleh Don Storm. Saat ini bapak dua anak itu cuma pasrah mendapati anaknya yang enggan lagi bersekolah. Tak hanya itu, anaknya juga terpaksa mengungsi ke tempat saudaranya.
Kesedihan juga dirasakan keluarga Husein. Anaknya yang mengaku disodomi beberapa kali oleh Don Storm itu kini menjadi pemurung. Husein sekeluarga hanya bisa pasrah saat bocah yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar itu merintih kesakitan saat buang air besar.
Akankah penderitaan yang dirasakan putra bapak Husein dan nasib mengenaskan Sabirin bakal terus terulang? Sampai kapankah kejahatan asusila itu menjauh dari Lombok dan bahkan berhenti? Meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan yang ketat terhadap anak-anak menjadi salah satu cara untuk menghindari mereka menjadi korban para pelaku pedofilia.(AIS/Tim Sigi)
Kasus pedofilia yang terjadi di Lombok melibatkan seorang warga Australia Donald John Storm. Dia ditangkap karena telah menyodomi empat bocah asal Desa Montong, Senggigi, NTB. Kasus ini cukup menyita perhatian. Warga setempat bahkan sempat berunjuk rasa di depan Kantor Kepolisian Resor Mataram, NTB menuntut agar tersangka dihukum seberat-beratnya.
Kasus ini terbongkar saat polisi menangkap keempat bocah korban sodomi. Mereka dilaporkan Storm mencuri sejumlah barang miliknya di sebuah hotel di kawasan Senggigi. Belakangan, keempat bocah itu mengaku disodomi Don Storm. Salah satu korban bahkan mengaku diiming-imingi sepeda motor, telepon seluler (ponsel), dan sejumlah uang [baca: Storm Memenuhi Panggilan Polisi].
Polisi lalu meringkus Don Storm. Aparat menyita berbagai barang bukti mulai dari film dan majalah porno, alat kelamin palsu, hingga pelumas kelamin sebagai barang bukti. Polisi berjanji mengusut tuntas kasus dugaan sodomi oleh pria berusia 58 tahun itu. Petugas juga ingin melacak kemungkinan jaringan pelaku sodomi asing di Lombok dan sekitarnya.
Dalam pemeriksaan, Don Storm membantah telah menyodomi keempat bocah itu. Umaiyah, kuasa hukum tersangka mengatakan kliennya tidak mengenali keempat anak-anak tersebut. "Dia tidak mengaku sama sekali," ujar Umaiyah. Kendati memungkiri perbuatannya, polisi tetap menahan Don Storm. Hingga kini, kasus ini masih ditangani polisi.
Kasus Don Storm ini menambah panjang daftar kasus pedofilia di Tanah Air. Pada Mei 2004, mantan Diplomat Australia William Stuart Brown alias Tony didakwa mencabuli dua anak laki-laki di Bali. Pria asal Negeri Kanguru ini divonis Pengadilan Negeri Karang Asem, Bali, 13 tahun penjara. Tony didakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sehari setelah vonis, Brown ditemukan tewas gantung diri [baca: Mantan Diplomat Australia Divonis 13 Tahun Penjara].
Maret 2005, seorang turis asal Prancis Michelle Rene Heller juga dicokok polisi. Tersangka termasuk pedofilia sejati. Heller aktif mencari korban di Singaraja dan Karang Asem, Bali. Salah satu korbannya adalah Helmy. Pemuda 19 tahun itu kenal tersangka sejak masih kanak-kanak. Ia mengaku sudah berulang kali disodomi Heller.
Dalam catatan lembaga swadaya masyarakat Committee Against Sexual Abuse (CASA), Heller umumnya mengincar anak-anak yang hidup miskin. Menurut pimpinan CASA L.K. Suryani, pelaku selama dua sampai tiga bulan mencoba mengambil simpati masyarakat setempat. "Masyarakat sudah menerima orang yang baik, tulus pada anak dan mencintai anak barulah mereka mulai mendata siapa kira-kira yang akan dipilih," jelas dia.
Yang terbaru saat ini adalah tiga pedofilia yang diduga masuk dan mencari mangsa di Pulau Dewata. Kepolisian Daerah Bali menyebut puluhan nama pelancong asing masuk dalam deretan target operasi (TO) sebagai pelaku pedofilia. Mereka berasal dari berbagai negara, paling banyak dari Australia.
LSM Santai mencatat, selama kurun waktu tiga bulan yakni antara Mei hingga Juli 2005, ditemukan 173 korban sodomi kaum pedofilia. Para korban itu tersebar di wilayah Praya, Senggigi, Kute, Tiga Gili, dan Senaru [baca: Pelaku Pedofilia Gentayangan di Lombok].
Penelusuran Tim Sigi di Lombok mendapati berbagai cara dan modus kalangan pedofilia beraksi di sana. Beberapa di antaranya dengan memberi beasiswa, menjadi orang tua asuh, dan memberi berbagai barang dan fasilitas. Betapa bebas dan mudahnya para pelancong merekrut bocah-bocah untuk dijadikan korban nafsu mereka.
Tapi di sisi lain, ada pula sejumlah bocah yang memang membutuhkan uang dari para pelaku pedofilia. Anak pria berusia 15 tahun di Senggigi, misalnya. Sekali kencan, ia bersedia menerima uang sebesar Rp 200 ribu.
Hasil penelitian LSM Santai di permukiman miskin Kecamatan Batulayar, Kabupaten Lombok Barat. Di sana ada sedikitnya lima anak korban penyimpangan seksual seorang warga Belanda. Si pelaku berdalih mendirikan sebuah LSM dan membangun sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, instalasi listrik, dan air bersih. Mereka begitu leluasa bergerak. Namun belakangan informasi ini dibantah kepala desa setempat.
Kasus pedofilia yang marak di Pulau Seribu Masjid itu memberi dampak buruk dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga. Tengok saja nasib tragis yang dialami Sabirin. Bocah ini meninggal sebulan silam karena terinfeksi virus Acquired Immunodeficiency Syndrome. Hampir tiga tahun Sabirin menjadi anak angkat turis asal Eropa bernama Peter yang kini menghilang.
Kisah kelam Sabirin juga dialami anak Rawini yang menjadi korban sodomi oleh Don Storm. Saat ini bapak dua anak itu cuma pasrah mendapati anaknya yang enggan lagi bersekolah. Tak hanya itu, anaknya juga terpaksa mengungsi ke tempat saudaranya.
Kesedihan juga dirasakan keluarga Husein. Anaknya yang mengaku disodomi beberapa kali oleh Don Storm itu kini menjadi pemurung. Husein sekeluarga hanya bisa pasrah saat bocah yang duduk di bangku kelas lima sekolah dasar itu merintih kesakitan saat buang air besar.
Akankah penderitaan yang dirasakan putra bapak Husein dan nasib mengenaskan Sabirin bakal terus terulang? Sampai kapankah kejahatan asusila itu menjauh dari Lombok dan bahkan berhenti? Meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan yang ketat terhadap anak-anak menjadi salah satu cara untuk menghindari mereka menjadi korban para pelaku pedofilia.(AIS/Tim Sigi)