Header Ads

Kantonisasi Suriah di Awal Musim Semi Arab


Ketika gelombang Musim Semi Arab merembet ke Suriah pada 2011, banyak pengamat fokus pada aksi demonstrasi dan represi pemerintah. Namun di balik itu, lahir fenomena menarik berupa pecahnya wilayah oposisi menjadi kanton-kanton de facto yang dikendalikan oleh kelompok Free Syrian Army (FSA) dan faksi bersenjata lainnya.

Pada masa awal, FSA bukanlah organisasi militer yang terpusat. Mereka lebih menyerupai jaringan longgar yang menguasai wilayah secara lokal. Dari situlah muncul struktur mirip kanton atau, dalam istilah Arab, disebut “emirates,” di mana setiap daerah yang terbebas dari kontrol rezim Assad mengatur dirinya sendiri.

Kanton terkuat dan paling simbolis kala itu adalah Ghouta Timur, kawasan pinggiran Damaskus. Ghouta menjadi semacam benteng oposisi dengan pemerintahan sipil sendiri, pengadilan lokal, serta sistem logistik yang berusaha independen dari rezim Assad. Ghouta bahkan disebut sebagai “ibu kota oposisi” sebelum akhirnya digempur habis-habisan oleh pasukan Assad.

Selain Ghouta, muncul pula kanton-kanton lain. Di Idlib, oposisi membangun basis perlawanan yang kemudian berkembang menjadi salah satu kantong oposisi terbesar. Wilayah ini kala itu dipimpin berbagai dewan lokal yang mencoba menjalankan fungsi pemerintahan sipil di bawah bayang-bayang perang.

Aleppo juga menjadi salah satu kanton besar oposisi. Bagian timur kota jatuh ke tangan FSA dan oposisi lokal, sementara bagian barat tetap dikuasai rezim. Aleppo timur menjadi laboratorium sosial bagi oposisi, meski fragmentasi antarfraksi membuatnya rapuh.

Homs, kota yang dijuluki “ibu revolusi,” sempat menjadi kanton penting dengan distrik-distrik yang mandiri. Namun pengepungan brutal oleh pasukan Assad membuat kanton ini hancur lebih cepat dibanding Ghouta dan Aleppo.

Di selatan, wilayah Daraa dan Quneitra melahirkan kanton oposisi yang relatif stabil untuk beberapa waktu. Kanton ini mendapat dukungan dari Yordania dan dikenal dengan koordinasi militernya yang lebih rapi dibanding wilayah lain.

Wilayah utara dekat perbatasan Turki, seperti Azaz dan Jarablus, juga berkembang menjadi kanton oposisi. Lokasi strategis di perbatasan membuatnya menjadi pintu masuk logistik dan jalur keluar bagi para pengungsi.

Tak hanya di dalam negeri, fenomena mirip kanton juga muncul di kamp-kamp pengungsian. Di Yordania, kamp Zaatari menjadi tempat lahirnya bentuk pemerintahan informal oposisi. Dewan-dewan lokal dibentuk untuk mengatur keamanan, distribusi bantuan, hingga pendidikan bagi anak-anak pengungsi.

Di Turki, sebagian kamp pengungsi juga menjadi basis politik oposisi. Tokoh-tokoh oposisi menggunakan kamp sebagai lokasi pertemuan dan pusat koordinasi, seakan membentuk pemerintahan dalam pengasingan.

Keberadaan kanton-kanton ini menunjukkan betapa FSA dan oposisi sejak awal tidak pernah memiliki kendali terpusat. Fragmentasi lokal adalah ciri khas yang kemudian membuat oposisi sulit bertahan menghadapi mesin perang rezim Assad yang lebih terorganisir.

Meski begitu, kanton-kanton oposisi sempat menghadirkan suasana alternatif bagi rakyat. Di beberapa daerah, sekolah dibuka kembali, rumah sakit darurat didirikan, dan pemerintahan sipil dijalankan dengan dukungan sukarelawan.

Namun, kelemahan struktur ini segera terbukti. Perpecahan antarfraksi, perebutan pengaruh antara kelompok Islamis dan sekuler, serta kurangnya sumber daya membuat kanton-kanton oposisi sulit mempertahankan diri.

Ketika Rusia dan Iran memperkuat dukungan pada Assad, kanton-kanton itu satu per satu dihancurkan. Ghouta, Aleppo timur, dan Homs jatuh dengan pola yang mirip: pengepungan, bombardir masif, lalu rekonsiliasi paksa.

Setelah banyak kanton oposisi hancur, struktur politik baru mulai muncul. Di wilayah Idlib, terbentuklah pemerintahan penyelamat atau Salvation Government (SG) yang didukung oleh oposisi lokal.

Sementara itu, di wilayah utara yang lebih dekat ke Turki, lahir pemerintahan sementara atau Syrian Interim Government (SIG) yang berusaha menampilkan wajah moderat dan lebih diterima internasional.

Di timur laut, komunitas Kurdi bersama sekutu Arab mereka membangun model otonomi kanton di bawah payung Syrian Democratic Forces (SDF). Sistem ini memiliki kesamaan dengan model kanton Bosnia, dengan pemerintahan sipil yang relatif independen di setiap wilayah.

Tak ketinggalan, di padang pasir dekat perbatasan Yordania, muncul kanton kecil bernama Al Rukban. Meski berupa kamp pengungsi terpencil, ia sempat menjadi simbol perlawanan dengan pemerintahan daruratnya sendiri.

Dengan demikian, sebelum lahirnya struktur oposisi yang lebih jelas seperti SG, SIG, SDF, dan Al Rukban, FSA memang secara de facto pernah memimpin wilayah-wilayah dalam bentuk kanton atau emirates. Fenomena itu menjadi fase unik dalam sejarah perang Suriah, yang memperlihatkan bagaimana rakyat dan pejuang lokal mencoba membangun tatanan baru di tengah kehancuran.

Sekarang semua kelompok di atas telah menjadi penguasa di bawah pemerintahan Presiden Ahmed Al Shara usai lengsernya Assad. Dengan pengecualian SDF Kurdi yang masih berkutat dengan integrasi serta kelompok separatis milisi Druze Al Hajri pro Israel yang ingin mendirikan negara 'Jabal Druze' terpisah dari Suriah yang baru.

Powered by Blogger.